Kepergian Kekasih dan Mereka yang Menemani
Silahkan menikmati dan mohon sarannya seperti biasa.
Panas menerjang pinggiran kota Jakarta. Akhirnya setelah seminggu penuh daerah ini diguyur hujan. Aku cukup bahagia akhirnya bisa pakai pakaian lain selain jumper atau jaket-jaket tebal selama seminggu belakangan. Keadaan ini membuatku tak ingin cepat-cepat pulang senang rasanya menikmati sinar matahari yang sudah lama kurindukan. Mungkin terkesan berlebihan, tetapi jika tubuhku akan diguyur hujan lagi, mungkin tubuh kurus ku ini akan tumbang karena flu atau apapun penyakit yang akan menyerang.
Kulangkahkan kaki ku yang dibalut celana jins ketat yang sehari-hari ku gunakan untuk kuliah, dipadukan dengan kemeja sedikit lebih besar dari ukuran tubuhku. Bagi beberapa kawan-kawan kampus, gayaku memang kerap dipuji karena simple nan sederhana. Tak sedikit yang memuji gaya berpakaianku. Penampilanku bisa dikatakan jauh dari kata seksi. Selain karena memang tak berminat, tak ada yang bisa ditonjolkan dari tubuhku untuk berpakaian seksi. Selain itu, aku memang tak punya bakat untuk tampil seksi.
Langkahku berbelok ke sebuah gang, untuk menyingkat perjalanan. di sana ku lihat seorang yang sangat familiar, jupri. Penjaga kost-kostan sebelah tempat tinggalku yang kerap ku manfaatkan untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah seperti memotong rumput, atau bahkan sekedar ku minta mengecek apakah rumah sudah ku kunci.
“Ke mana kamu, pri?” tanyaku ramah. sambil menghentikan langkah. Kami sedikit menyingkir agar orang-orang di belakangku bisa melanjutkan perjalanan melintasi gang ini.
“Mau ke depan neng, beliin si bapak gorengan. Neng mau nitip?” jawabnya polos, sambil mengintip ke bagian dada ku. Sayang bagi Jupri, kemeja ku kali ini cukup rapat. Seperti lelaki pada umumnya, Jupri memang beberapa kali kerap mengambil kesempatan. Tapi aku tak pernah keberatan, bagi saya itu tidak penting, karena dia tak bisa berbuat lebih.
“Aku mau nitip deh, beliin nasi padang di depan. Biasa ya, dua bungkus,” ujar saya sambil merogoh duit di kemeja putih yang kukenakan. Ku lebihkan agar dia bisa membeli makanan juga untuk nanti malam. Setelah selesai meminta tolong Jupri, aku kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa lubang berair masih terdapat di gang, aku beberapa kali berhenti untuk mengambil langkah lebih besar agar sepatu ku tak basah dan kotor.
Sampai di rumah dua tingkat yang selama ini ku tinggali, sebuah mobil sudah terparkir di carport. Ku langkahkan kaki ke dalam rumah tersebut sambil melepaskan sepatu dan meninggalkannya di teras rumah. Kutaruh totebag ku di kursi ruang tamu. Ku langkahkan kaki ke arah dapur karena mendengar ada kegiatan di sana. Kudapati seorang pria dengan celana kolor serta kaus oblong sedang memasak mie instan dengan seksama. Tak sadar kehadiranku.
“Duh kamu kok masak sih, aku baru aja nitip jupri beli nasi padang,” ujar saya sambil memeluk pria tersebut dari belakang dan menaruh daguku di pundak kirinya.
“Tuhkan makan Mie lagi,” ujarku ngambek dan kemudian melepaskan pelukan. Mencubit bokongnya tanda kesal. Pria itu kemudian berbalik badan dan mengejarku berusaha untuk menangkap. Kejaran itu berakhir ketika aku sengaja merebahkan tubuhku di sofa ruang tamu yang kemudian langsung ditiban. Kami tertawa bersama, beberapa beban di kampus rasanya hilang secara mendadak ketika bersama dengan sosok ini. Sambil meniban ketika menatapku, ia memajukan wajahnya, menempelkan bibir kami berdua dan kami pun asik berpagutan. Namun sesaat kami mendengar pagar depan di geser. Pasti Jupri. Aku langsung berdiri dan menghampiri Jupri, sementara pria ini kembali ke dapur untuk melanjutkan memasaknya.
Kini kami duduk berhadapan di meja makan yang memang hanya untuk kami berdua. Adalah Rian, pria yang mengecupku sedari tadi di sofa. Dia adalah mahasiswa semester akhir di fakultas hukum. Meski demikian, ia masih aktif di beberapa kegiatan kampus, selain karena memang namanya cukup beken di kegiatan kampus, Rian termasuk mahasiswa berprestasi. Ia kerap beberapa kali diajak menjadi pembicara untuk kegiatan-kegiatan mahasiswa baru atau sekedar menjadi moderator di berbagai diskusi kampus khususnya fakultas. Itulah mengapa ia kerap mondar-mandir ke kampus meski beberapa orang di angkatannya hanya ke kampus untuk konsultasi skripsi. Kami menjalin hubungan sudah satu setengah tahun. Semua bermula saat ospek kampus. Tetapi tentang pertemuan kami, akan saya simpan di lain waktu.
Perkenalkan, nama saya Kanya. Mahasiswa psikologi di kampus yang sama dengan Rian tentunya. Sama seperti Rian, aku adalah sosok yang aktif di kampus, hanya saja, aku tidak aktif di organisasi yang umumnya diikuti mahasiswa. Aku sering mengikuti seminar baik skala nasional maupun internasional mewakili kampus. Tertular dengan Rian, aku juga dikenal sebagai siswi yang pandai terutama pengalamanku mengikuti sekian banyak penelitian yang dilakukan oleh dosen. Aku tak jarang dipercaya menjadi koordinator mahasiswa ketika dosen-dosen ingin melakukan penelitian atau kegiatan tertentu untuk masyarakat. Singkat cerita, kami merupakan mahasiswa dan mahasiswi yang berprestasi di kampus, namun sebenarnya, kami sama saja dengan mahasiswa lainnya di kampus.
Tidak afdol jika aku tak menjelaskan secara singkat mengenai tubuhku di forum ini. Mungkin suhu-suhu di sini familiar dengan istilah kutilang? Singkatnya begitu gambaran tubuhku. Tinggiku adalah 171, sekitar sembilan centil lebih pendek dari Rian kekasihku. Rambutku hitam legam menjuntai sampai se-payudaraku, sementara payudaraku sendiri hanya berukuran 34b. Tak bisa memuaskan banyak pihak memang, tetapi Rian pernah mengaku bahwa ia tak punya preferensi khusus mengenai ukuran payudaraku, ia mengaku puas saja dengan ukuran ku yang apa adanya. Aku memiliki tubuh yang putih untuk ukuran orang Indonesia.
“Mata kamu tuh mata sendu, mata minta dikasihani. Tetapi juga mata yang bikin nafsu,” kata Rian ketika kami sedang berbincang mengenai apa yang kami suka dari satu sama lain. Mengenai Rian, ia sendiri merupakan lelaki Indonesia pada umumnya. Ia memang tak kurus, ia rajin sekali olahraga, tetapi ia bukan pria yang terobsesi dengan otot. Ia tak pernah membentuk ototnya, ia ingin terlihat normal saja. Mengenai ukuran penis, aku tak tahu perbandingannya dengan orang lain karena Rian adalah pria pertama yang menjamahku dan mengambil keperawananku.
Tidak seperti wanita lain, aku tak bermasalah ketika kehilangan keperawanan. Bahkan semenjak SMA, aku sudah tau bahwa aku akan kehilangan keperawanan dengan pacar, bukan dengan suamiku siapapun itu. Namun memang harus diakui aku bukan tipe wanita yang pandai bergaul. Hanya sedikit teman atau sahabatku. Semenjak kecil, aku pulang pergi diantar supir sehingga ketika pulang sekolah, langsung ke rumah. tak ada main, bahkan ketika SMA. Jika memang ada acara main, aku pun pasti diantar supir untuk bertemu teman. Juga ketika pacaran, orangtuaku meminta supir mengantarkan.
Adalah ketika kuliah ini semuanya terjadi.
—
“Aku mau ngomongin soal project,” ujar Rian membuka omongan. Aku cemberut karena pembicaraan ini tak pernah berakhir baik. Pembicaraan ini selalu berlanjut dengan pertengkaran, pintu-pintu rumah juga akan menjadi ungkapan kemarahan kami berdua.
“Jangan cemberut. Cepat atau lambat ini emang harus diomongin,” lanjut Rian berusaha mengecupku sementara wajahku melengos. Aku berdiri dan memakai kembali celana dalamku dan kaus yang sejam lalu kami lemparkan dengan bahagia. saya berjalan dengan cepat turun ke lantai satu dan mengambil minuman dingin di dapur. Rian memelukku dari belakang, ia masih telanjang. Kami memang jarang berpakaian sewajarnya ketika sudah di rumah. seperti sekarang, saya sering sekali hanya mengenakan celana dalam dan kaos.
“Yuk, diomongin yuk,” katanya lembut.
Rian beberapa bulan yang lalu mengajukan ijin untuk keluar kota dalam waktu yang lama. Ia akan pergi untuk empat bulan melakukan penelitian dengan salah satu dosennya. Kemudian akan dilanjutkan dua bulan menemani dosen lainnya di pulau lain. Saya yang takut akan merasa kesepian beberapa kali menolak ide tersebut. Bagi saya, ia harus memilih salah satu penelitian. Tetapi Rian selalu membalikan jika saya berada di posisinya. Konflik ini yang akhirnya membuat kami bertengkar beberapa kali. Alasan saya menolak juga karena daerah yang ia kunjungi adalah wilayah yang masih sulit mendapat sinyal. Komunikasi kami pasti akan sangat terbatas. Sebagai seorang pacar tentu komunikasi adalah suatu hal yang menyulitkan.
Namun benar apa kata Rian, cepat atau lambat kami harus benar-benar membahas ini. Dan aku rasa ini waktu yang tepat. Aku masih dengan pendirianku agar Rian memilih salah satu penelitian. Rian sementara itu bersikeras jika ia harus ikut keduanya. Ia beragumen, bahwa ia akan tetap pulang ke Jakarta sebulan sekali. Ia juga mengatakan bahwa dosen yang melakukan penelitian adalah dosen pembimbing skripsinya, ia berpikir bahwa kesempatan ini akan meningkatkan produktivitasnya dalam membuat skripsi. Di satu sisi saya sangat marah karena ia tak mau sedikitpun mendengarkan saya. Tetapi di sisi lain, saya setuju agar ia cepat merampungkan skripsinya.
Aku terpaksa menyetujuinya dengan berat hati. Dengan segudang syarat. Dengan segala raut wajah yang mengkerut. Rian terlihat gembira ketika aku mengijinkannya. Tetapi ia tahu perasaanku dan mencoba menutupi rasa senangnya. Ia kemudian memelukku. Menenggelamkan tubuhku di dalam tubuhnya. Aku menangis, Rian kemudian menenangkanku. Aku benar-benar tak siap untuk ditinggalkan berbulan-bulan.
Beberapa jam kemudian aku terbangun di sofa. Ternyata saking lelahnya aku menangis, aku sampai ketiduran. Mataku sembab dan terasa kaku. Aku kemudian duduk di sofa, Rian terlihat masuk dari pintu depan. Ia kemudian menghampiriku dan memberikan kecupan. Ia masih tak ingin menunjukkan kebahagiannya. Ia tahu apa yang aku rasakan.
“Yuk makan,” kata Rian. Aku terbangun dan kemudian makan bersamanya.
—
“Apa yang bakal kamu kangenin dari aku nanti?” tanyaku sambil bergelendotan ke Rian. Kami kembali di duduk sambil menonton televisi.
“Hmmm apa yah, kamu bangunin aku tiap pagi sih,” jawab Rian sambil mengecup keningku. Ia kemudian bertanya balik mengenai apa yang aku kangenin dari Rian.
“Nggak ada!” jawabku ketus. Rian tertawa geli. Ia menggelitik pinggangku dan membuatku geli.
“Yakin?? Bakal kangen ini nggak??” ujar Rian lagi sambil satu tangannya meremas penisnya.
“Dasar Mesum! Titit mulu yang diinget!” jawab saya sambil sok-sok marah meski aku akui aku akan merindukan satu hal yang itu. Hubunganku dengan Rian memang spesial terutama di ranjang. Aku adalah wanita pertama yang ia cumbu dan begitupun juga sebaliknya. Kami benar-benar polos ketika pertama kali melakukannya.
“Kamu inget nggak dulu, pas kita main pertama kali? Kamu masukinnya aja bingung” bukaku.
“Inget lah. Terus kita masang kondom aja berdua ya dulu,” balas Rian.
“Hahahaha iya iya. sekarang juga pake satu tangan aku bisa. Nggak liat lagi,” ujar ku bersemangat.
“Sekarang udah nggak pernah pake kali… ” sanggah Rian yang kemudian aku setujui .
“Terus pas darah kamu keluar, kita bengong gitu.” ingatan kami kembali ke masa itu. Aku juga tertawa. Ternyata tak semenyedihkan itu kehilangan keperawanan. Malah enak saat itu.
“Terus kamu pelan banget keluar masukinnya. Takut aku kesakitan. Padahal aku enak,” nalas ku lagi.
“Iya, terus aku cuman lima menit udah keluar,” jawab Rian sambil tertawa terbahak-bahak. Akupun mengingat betul bagaimana ekspresi Rian saat mendapat orgasme pertamanya bersamaku.
“iyaa tapi habis itu aku pasti yang keluar duluan sampai sekarang,” puji saya ke Rian soal performanya. Kami berpelukan dengan mesra. untuk beberapa saat saya lupa dengan kepergian Rian yang akan terjadi dalam waktu dekat. Saya tak ingin kehilangan pria ini.
“Aku bakal kangen banget pas kamu di atas,” ujar Rian menggoda. Ia meremas payudara ku yang masih terlapisi kaus tipis.
“Terus kalau kamu kangen sama ini, kamu mau gimana?” tanya ku menggoda. Aku kemudian melepaskan pelukan, menanggalkan kaus dan celana dalam. Lalu menggoyangkan tubuhku di depannya.
“Aku bakal liat foto kamu, terus ngocok kaya gini,” ujar Rian yang mendadak berdiri, melepaskan pakaian dan celana lalu kembali duduk. Ia mengocok perlahan penisnya yang sudah menegang sedari tadi.
“Terus?” tanyaku sambil memutar badanku, menggoda Rian dengan menggoyangkan bokong ke arah penisnya.
“Terus aku bayangin pantat kamu, aku bayangin kita lagi main doggy,” jawabnya sambil mempercepat penisnya.
Aku merasa iba dengan kata-katanya. Aku kemudian berlutut di depannya.
“Kalau mau ngocok, pakai sabun ya. Nanti lecet,” ujar saya sambil membasahi penis Rian dengan ludahku. Kujulurkan lidahku yang penuh dengan lidah, menyapu setiap sisi penisnya.
“Arhhhh masukin yang,” kata Rian memohon. Tanggannya merapikan rambut ku ke belakang. ia memegangi rambutku selama aku mengoralnya. Terus terang aku paling suka di posisi ini. Menurut Rian, kemampuan oral ku mampu membuatnya cepat keluar. Ia bahkan harus berusaha keras untuk tidak kelepasan. Tapi di bagian ini, adalah yang terpenting untuk kita berdua. Karena jika tak dioral, biasnya Rian akan selesai dengan cepat. itu yang kami pelajari saat awal-awal kami bercinta dulu.
“Aku bakal kangen banget sama ini” ujar rian lirih, matanya sudah merem tanda ia kenikmatan. Aku masih asik memasukan penis Rian naik turun dengan mulutku. Aku sengaja memainkannya dengan kencang agar penisnya merasa ditekan. Rian juga paling suka ketika aku menyedot kepala penisnya…biasanya, ketika itu aku lakukan. Rian akan menekan kepala ku dengan keras sampai aku hampir tersedak.
“udah yang,” ujar Rian. Ia pasti akan keluar sebentar lagi. Aku menghentikan oralku, Rian mengganti posisi, aku diminta duduk olehnya. Mengangkang. Rian giliran mengoralku. Namun harus diakui, Rian tak terlalu pandai dalam ini, aku tak pernah terpuaskan untuk sesi ini. Hanya sapuan-sapuan singkat di sepinggir vaginaku. Tapa ada tekanan atau permainan di klitoris. Dan yang terpenting, Rian tak pernah lama melakukan ini. Ku pikir, yah setidaknya untuk bikin becek aja. Hehehe
Rian kemudian menyudahi permainan lidahnya. Ia berdiri, mengangkat kaki ku dan menaruhnya di bahunya. Aku suka di posisi ini juga, Rian selalu bisa menekan lebih dalam jika di posisi ini rasanya sampai mentok.
“AHhhh ” erangku ketika penis Rian sudah mulai memasuki vaginaku. Vaginaku menerima baik bentuk dan ukuran Rian. terasa penuh dan sesak. Rian tanpa aba-aba langsung menggenjotku. Genjotannya membuatku beberapa kali berteriak kecil..
“shhhh ntar anak kostan sebelah denger” ujar Rian sambil memainkan putingku dengan lidahnya. Aku beberapa kali menggelinjang meski belum klimaks. Tubuhku penuh dengan birahi karena terus dihantam oleh penisnya. Penis rian bahkan seperti tak ingin ada rongga tersisa di vaginaku.
“Ahhh enak yang…aku di atas ya,” ujarku…
Rian tanpa membantah langsung mencabut penisnya dengan kasar. Aku meringis kesakitan. Rian duduk di sampingku lalu mengangkat tubuhku untuk ancang-ancang di atas tubuhnya.
“Kamu harus inget-nget moment ini,” ujarku sambil menciumnya dengan nafsu.
“Pasti yang,” kata Rian. Ia kemudian memegangi pinggangku. Sementara aku menunduk meraih penisnya dan mengarahkanya ke bibir vagina. Ku gesek-gesek ke sekitar bibir vaginaku agar bersiap-siap dengan penetrasi berikutnya. Rianpun sudah mulai gemas dengan kelakuanku. Tanpa menunggu lama ku turunkan tubuhku. Aku mendangak, merasakan dengan penuh nikmat masuknya penis rian senti demi senti. sampai akhirnya pangkal pahaku bertemu dengan pangkal pahanya.
“Memek kamu kenceng banget yang,” ujar Rian sambil menatapku.
“Apa yang yang kenceng?” tanyaku sambil masih memejamkan mata menikmati dinding vaginaku yang secara langsung menempel dengan dinding penis Rian.
“Memek kamu Kanya!” aku senang mendengar kata-kata itu.
“Kontol kamu gede sih, bikin jadi seret,” jawabku membakar birahinya.
Aku kemudian perlahan mulai menaik -turunkan tubuhku. Ketika turun, kuusahakan kuputar pinggulku. agar Rian bisa merasakan enaknya goyanganku. Rianpun mulai ngilu setiap ku turunkan tubuhku. Ketika ku naikkan tubuhku, Rian menaikan juga pinggulnya, seakan tak mau penisnya keluar dari vaginaku walaupun hanya sedetik. Sementara ketika tubuhku menekan tubuhnya, ia juga membantu menekan pinggulku dengan tangannya.
“Dulu kamu bisanya cuman maju mundur, sekarang goyang teratur!” goda Rian.
“Goyang kaya gini ya?” Godaku sambil menggoyang pinggul patah-patah seperti sedang memindahkan persneling mobil.
“Arghhhh enak banget yang sumpah,” ujar Rian. Akupun suka dengan gerakan itu karena sebenarnya itu membuat ku merasa semakin mentok di setiap sisi.
Namun jujur aku tak bisa lama-lama memainkan goyangan itu karena pegalnya bukan main. Aku kemudian menaik turunkan tubuhku. Perlahan lalu ke kencang. Kami mulai kelelahan, nafas kami tak teratur. Keringat juga sudah mulai banjir. Suara pok-pok pok juga bersaing dengan erangan ku yang sudah keluar sejak tadi. Rian juga sudah menaik turunkan pinggulnya juga sehingga benturan kami berdua semakin keras dan berasa.
Kita akan keluar sebentar lagi, batinku.
“Aku sebentar lagi” ujar Rian.
“Bareng” jawabku singkat masih fokus untuk menaik turunkan tubuhku di atas rian. Gerakan makin cepat, suara kami juga sudah kalah dengan bunyi pok pok pok di pangkal paha kami. Aku sudah merasa ada yang keluar sebentar lagi. Penis Rian juga sudah mulai terasa berdenyut. Menandakan sesuatu akan keluar sebentar lagi.
“Argghhhh” aku menyerah dahulu. Gerakanku berhenti. Rian masih menggenjotku dari bawah. terasa banyak cairan keluar dari vaginaku. ngilu dengan hantaman penis Rian.
“Aku ke…luar” teriak Rian yang kemudian tubuhnya mejadi kaku. Ku rasakan sudah tak ada lagi hantaman. Yang ada hanya siraman deras. itu menambah indah orgasmeku yang panjang. Tubuhku ambruk ke dada Rian.
“Inget ini,” pesanku lirh sambil terbata-bata karen ngos-ngosan.